Electronic Theses and Dissertation

Endometritis merupakan peradangan yang terjadi pada mukosa uterus (endometrium) yang dapat menyebabkan gangguan reproduksi bersifat sementara dan atau persisten. Tujuan dari penelitian ini mengetahui kemampuan tanaman obat (daun sirih merah, daun kelor, dan umbi bawang putih) untuk mengobati endometritis yang diuji secara in vitro dan in vivo. Penelitian ini dibagi atas 5 tahap. Pada Tahap I, dilakukan karakterisasi dan analisis komponen bioaktif pada daun sirih merah. Pengujian yang dilakukan meliputi uji herbarium, uji rendemen, uji fitokimia, dan analisis metabolit sekunder dengan chromatography-mass spectroscopy (GCMS). Pada Tahap II dan III dilakukan karakterisasi dan analisis senyawa bioaktif masing-masing pada daun kelor dan umbi bawang putih dengan analisis yang sama seperti yang dilakukan pada Tahap I. Pada Tahap I, II, dan III, juga dilakukan uji aktivitas antibakteri terhadap bakteri Escherichia coli (E. coli) dan Staphylococcus aureus (S. aureus) secara in vitro. Uji aktivitas antibakteri dilakukan dengan metode disc diffusion. Kertas cakram yang mengandung masingmasing ekstrak daun sirih merah, umbi bawang putih, dan daun kelor ditempatkan di atas permukaan media padat yang telah diinokulasi dengan bakteri uji. Konsentrasi masing-masing ekstrak yang digunakan adalah 0%, 10%, 20%, 40%, dan 60%. Dari penelitian Tahap I, II, dan III, telah diketahui pelarut dan konsentrasi ekstrak yang mampu menghambat pertumbuhan bakteri penyebab endometritis. Pada tahap IV dilakukan uji untuk menentukan metode terbaik untuk induksi tikus model endometritis. Pada penelitian ini dilakukan inokulasi bakteri ke dalam uterus tikus dengan menggunakan bakteri E. coli, S. aureus dan campuran E. coli dan S. aureus. Untuk tujuan tersebut, tikus dibagi dalam 7 kelompok perlakuan. Kelompok K0 merupakan kelompok kontrol yang diinjeksi dengan NaCl sebanyak 0,1 mL; K1 diinjeksi dengan dengan bakteri E. coli 1,5 x 10 CFU/mL sebanyak 50 ?L; K2 diinjeksi dengan dengan S. aureus 1,5 x 10 ix 5 CFU/mL sebanyak 50 ?L; K3 diinjeksi dengan campuran bakteri (S. aureus dan E. coli) 1,5 x 10 CFU/mL sebanyak 50 ?L; K4 diinjeksi dengan bakteri E. coli 1,5 x 10 CFU/mL sebanyak 50 ?L; K5 diinjeksi dengan bakteri S. aureus 1,0 x 10 8 CFU/mL sebanyak 50 ?L; dan K6 diinjeksi dengan campuran bakteri (S. aureus dan E. coli) 1,5 x 10 CFU/mL sebanyak 50 ?L. Kelompok tikus yang mengalami kerusakan berat pada uterus dijadikan dasar teori penyebab endometritis pada ternak. Penelitian Tahap V bertujuan mengetahui efektivitas fitoterapi dalam penurunan derajat endometritis dan peningkatan angka keberhasilan inseminasi buatan pada sapi aceh yang mengalami endometritis. Penelitian ini meliputi tahapan induksi berahi dengan prostaglandin, koleksi mukus, identifikasi sapi aceh penderita endometritis dengan uji White Side Test (WST), swab uterus untuk pemeriksaan mikroba, inseminasi buatan, dan pemeriksaan kebuntingan. Dalam penelitian ini digunakan sembilan ekor sapi aceh betina berusia 3-5 tahun dengan bobot badan 150-250 kg yang didiagnosis mengalami repeat breeding, yakni sapisapi yang telah dikawinkan >3 kali namun gagal menjadi bunting. Mukus serviks pada sapi tersebut saat estrus kemudian diuji dengan WST untuk menentukan level endometritisnya. Setelah uji WST, sapi-sapi dikelompokkan ke dalam tiga 5 8 5 8 kelompok perlakuan, yakni kelompok yang diberikan ekstrak daun sirih merah (C1, n= 3), ekstrak daun kelor (C2, n= 3), dan ekstrak bawang putih (C3, n= 3). Pemberian ekstrak dilakukan setiap 24 jam selama 7 hari sebanyak 20 mL dengan konsentrasi 40% menggunakan gun inseminasi yang dimasukkan ke dalam uterus. Ekstrak etanol daun sirih merah, daun kelor, dan bawang putih lalu disemprotkan dengan disposable syringe melalui pipet inseminasi buatan (IB). Hasil penelitian Tahap I menunjukkan senyawa metabolit sekunder terbanyak diperoleh dari daun sirih merah yang diekstraksi dengan pelarut etil asetat yang terdiri atas senyawa flavonoid, terpenoid, steroid, tanin, fenolik, dan saponin. Pada ekstrak etanol diperoleh senyawa flavonoid, steroid, dan fenolik, sedangkan pada pelarut n-heksana hanya diperoleh satu metabolit sekunder yakni steroid. Hasil analisis GC-MS ekstrak daun sirih merah terdapat 25 puncak pada fraksi n-heksana, 15 puncak fraksi etil asetat, dan 24 puncak pada fraksi etanol yang berarti terdapat 25, 15, dan 24 senyawa yang ada pada masing-masing fraksi n-heksana, etil asetat, dan etanol. Hasil uji daya hambat diketahui bahwa ekstrak n-heksana dan etanol daun sirih merah tidak mempunyai daya antibakteri terhadap E. coli dan S. aureus kecuali pada fraksi etil asetat. Pada penelitian Tahap II, hasil pemeriksaan fitokimia ekstrak daun kelor dengan tiga fraksi pelarut menunjukkan bahwa senyawa aktif terbanyak diperoleh dengan fraksi pelarut etanol dengan metabolit sekunder terdiri atas flavonoid, steroid, tanin, dan alkaloid. Pada fraksi pelarut etil asetat diperoleh senyawa flavonoid, terpenoid, dan fenolik sedangkan pada fraksi pelarut n-heksana hanya diperoleh dua metabolit sekunder yakni flavonoid dan steroid. Hasil analisis GCMS ekstrak daun kelor memiliki 20 puncak pada fraksi n-heksana, 17 puncak fraksi etil asetat, dan 14 puncak pada fraksi etanol. Hasil uji daya hambat ekstrak daun kelor diketahui aktivitas antibakteri ekstrak etanol lebih baik dibandingkan. n-heksana dan etil asetat. Pada penelitian Tahap III, hasil pemeriksaan fitokimia ekstrak umbi bawang putih dengan tiga fraksi pelarut menunjukkan senyawa metabolit sekunder terbanyak diperoleh dengan fraksi pelarut etil asetat dengan metabolit sekunder terdiri atas flavonoid, tanin, fenolik, saponin, dan alkaloid. Pada fraksi pelarut etanol diperoleh metabolit sekunder steroid, fenolik, dan saponin, sedangkan pada fraksi pelarut n-heksana juga diperoleh tiga metabolit sekunder yakni flavonoid, tanin, dan saponin. Hasil analisis GC-MS ekstrak umbi bawang putih memiliki 25 puncak pada fraksi n-heksana, 25 puncak fraksi etil asetat, dan 20 puncak pada fraksi etanol. Ekstrak n-heksana bawang putih tidak berpotensi sebagai antibakteri dalam menghambat pertumbuhan E. coli dan S. aureus, sedangkan ekstrak etil asetat dan etanol bawang putih berpotensi sebagai antibakteri terhadap pertumbuhan E. coli secara in vitro. Ekstrak bawang putih hasil maserasi bertingkat dengan pelarut etil asetat memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus, sedangkan ekstrak n-heksana dan etanol bawang putih tidak memiliki aktivitas antibakteri terhadap S. aureus. Hasil penelitian Tahap IV menunjukkan gambaran histopatologis yang terlihat pada endometrium tikus yang diinfeksikan bakteri E. coli dan S. aureus adalah terjadinya perubahan pada struktur lumen, nekrosis, proliferasi sel epitel, dan ditemukannya sel-sel radang serta fibroblast. Induksi endometritis dengan x menggunakan bakteri E. coli dan S. aureus menyebabkan terjadinya perubahan histopatologis pada endometrium tikus putih yang ditandai dengan penyempitan lumen endometrium, peningkatan sel-sel nekrosis, dan penurunan proliferasi pada sel epitel. Jenis bakteri yang digunakan tidak memengaruhi tingkat nekrosis dan proliferasi, namun peningkatan dosis infeksi cenderung meningkatkan nekrosis dan menurunkan proliferasi. Tingkat nekrosis tertinggi terdapat pada uterus tikus yang diinfeksikan dengan E. coli 1,5 x 10 8 CFU/mL. Ekspresi reseptor progesteron mengalami penurunan pada tikus putih model endometritis yang diinjeksikan S. aureus 1,5 x10 8 CFU/mL dan bakteri campuran S. aureus 1,5 x 10 CFU/mL dengan E. coli 1,5 x 10 8 CFU/mL. Induksi endometritis dengan menggunakan bakteri E. coli, S. aureus dan kombinasi kedua bakteri menyebabkan terjadinya peningkatan kadar interleukin-6 (IL-6) pada darah tikus putih sesuai dengan peningkatan konsentrasi yang diberikan. Pada Tahap V menunjukkan bahwa pemberian ekstrak etanol daun sirih merah, daun kelor, dan ekstrak bawang putih pada saat sebelum dan sesudah perlakuan cenderung menurunkan skor WST meskipun secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (P>0,05). Persentase penurunan skor WST pada C1, C2, dan C3 masing-masing adalah 60,1; 67,0; dan 58,8%. Penurunan skor WST setelah perlakuan diikuti dengan penurunan total koloni bakteri (P>0,05). Persentase penurunan total koloni bakteri pada C1, C2, dan C3 masing-masing adalah 32,5; 54,1; dan 70,6%. Di antara ketiga jenis tanaman yang digunakan pada penelitian ini, ekstrak bawang putih menunjukkan kemampuan terendah dalam meningkatkan persentase kebuntingan pada sapi aceh yang mengalami endometritis.
Kata kunci: antibakteri, endometritis, fitoterapi, sapi aceh

Endometritis is an inflammation that occurs in the uterine mucosa (endometrium) which cause temporary and/or persistent reproductive disorders. The purpose of this study was to determine the ability of medicinal plants (red betel leaf, garlic, and moringa leaf) to treat endometritis tested in vitro and in vivo. This research was divided into 5 stages. In stages I, characterization and analysis of bioactive components in red betel leaves were carried out. The analysis included herbarium test, yield test, phytochemical test, and secondary metabolite analysis by chromatography-mass spectroscopy (GCMS). In stages II and III, characterization and analysis of bioactive compounds in moringa leaves and garlic, respectively, were carried out with the same analysis as in stage I. In stages I, II, and III, antibacterial activity tests were also conducted against Escherichia coli (E. coli) and Staphylococcus aureus (S. aureus) bacteria in vitro. The antibacterial activity test was conducted using the disc diffusion method. Paper discs containing each extract of red betel leaf, garlic, and moringa leaf were placed on the surface of solid media that had been inoculated with test bacteria. The concentration of each extract used was 0%, 10%, 20%, 40%, and 60%. From stages I, II, and III studies, solvents and extract concentrations that are able to inhibit the growth of bacteria that cause endometritis have been identified. In stages IV, the research was conducted to determine the best method for induction of endometritis model mice. In this study, bacteria were inoculated into the uterus of rats using E. coli, S. aureus and a mixture of E. coli and S. aureus. For this purpose, the rats were divided into 7 treatment groups. Group K0 was a control group injected with 0.1 mL of NaCl; K1 was injected with 1.5 x 10 CFU/mL of E. coli bacteria; K2 was injected with 1.5 x 10 xii 5 CFU/mL of S. aureus bacteria; K3 was injected with a mixture of bacteria (S. aureus and E. coli) 1.5 x 10 CFU/mL (50 uL); K4 was injected with E. coli bacteria 1.5 x 10 8 CFU/mL (50 uL); K5 was injected with S. aureus bacteria 1.0 x 10 8 CFU/mL (50 uL); and K6 was injected with a mixture of bacteria (S. aureus and E. coli) 1.5 x 10 8 CFU/mL (50 uL). The group of rats with severe uterine damage was used as the basis for the theory of the induction of endometritis in cattle. Stage V aims to determine the effectiveness of phytotherapy in reducing the degree of endometritis and increasing the success rate of artificial insemination in Aceh cows with endometritis. This research included the stages of estrus induction with prostaglandin, mucus collection, identification of aceh cows with endometritis by White Side Test (WST), uterine swab for microbial examination, artificial insemination, and examination of pregnancy. In this study, nine female aceh cows aged 3-5 years with a body weight of 150-250 kg were used that were diagnosed with repeat breeding, i.e. cows that had been mated >3 times but failed to become pregnant. Cervical mucus in these cows during estrus was then tested with WST to determine the level of endometritis. After the WST test, the cows were grouped into three treatment groups, namely groups given betel leaf extract (C1, n= 3), moringa leaf extract (C2, n= 3), and garlic extract (C3, n= 3). The administration of the extract was carried out every 24 hours for 7 days with a concentration of 40% using an insemination gun inserted into the uterus. Red betel leaf extract, moringa leaf 5 5 extract, and garlic extract were then sprayed with a disposable syringe through an artificial insemination (IB) gun. The results of stage I showed that the most secondary metabolite compounds were obtained from red betel leaves extracted with ethyl acetate solvent consisting of flavonoids, terpenoids, steroids, tannins, phenolic compounds, and saponins. The results of GC-MS analysis of red betel leaf extracts showed 25 peaks in the n-hexane fraction, 15 peaks in the ethyl acetate fraction, and 24 peaks in the ethanol fraction, which means there were 25, 15, and 24 compounds present in each of the n-hexane, ethyl acetate, and ethanol fractions. The results of the inhibition test showed that n-hexane and ethanol extracts of red betel leaves did not have antibacterial activity against E. coli and S. aureus except for the ethyl acetate fraction. In stage II, the results of phytochemical examination of moringa leaf extract with three solvent fractions showed that the most active compounds were obtained with ethanol with secondary metabolites consisting of flavonoids, steroids, tannins, and alkaloids. In the ethyl acetate solvent fraction, flavonoids, terpenoids, and phenolic compounds were obtained while in the n-hexane solvent fraction only two metabolites were obtained. Ethyl acetate solvent fraction with secondary metabolites consisting of flavonoids, terpenoids, steroids, tannins, phenolics, and saponins. In the ethanol solvent fraction, flavonoids, steroids, and phenolic compounds were obtained while in the n-hexane solvent fraction only two secondary metabolites were obtained, namely flavonoids and steroids. The results of GC-MS analysis of moringa leaf extract have 20 peaks in the n-hexane fraction, 17 peaks in the ethyl acetate fraction, and 14 peaks in the ethanol fraction. The results of the inhibition test of moringa leaf extracts showed that the antibacterial activity of ethanol extracts was better than n-hexane and ethyl acetate. In stage III, the results of phytochemical examination of garlic extracts with three solvent fractions showed that the most secondary metabolite compounds were obtained with ethyl acetate solvent fraction with secondary metabolites consisting of flavonoids, tannins, phenolics, saponins and alkaloid. The ethanol solvent fraction obtained secondary metabolites of steroids, phenolics, and sponin while the n-hexane solvent fraction also obtained three secondary metabolites namely flavonoids, tannins, and saponins. The results of GC-MS analysis of garlic extracts have 25 peaks in the n-hexane fraction, 25 peaks in the ethyl acetate fraction, and 20 peaks in the ethanol fraction. Garlic n-hexane extract did not have antibacterial potential in inhibiting E. coli growth, while ethyl acetate and ethanol extracts of garlic have antibacterial potential against E. coli growth in vitro. Garlic extracts from subsequent maceration with ethyl acetate solvent have antibacterial activity against S. aureus, while n-hexane and ethanol extracts of garlic did not have antibacterial activity against S. aureus. The results of stage IV showed that the histopathological change seen in the endometrium of rats infected with E. coli and S. aureus bacteria was in the structure of the lumen, necrosis, proliferation of epithelial cells, and the discovery of inflammatory cells and fibroblasts. Induction of endometritis using E. coli and S. aureus bacteria causes histopathological changes in the endometrium of white rats characterized by narrowing of the endometrial lumen, increase in necrosis cells and xiii a decrease proliferation in epithelial cells. The type of bacteria used did not affect the level of necrosis and proliferation, but increasing the dose of infection tended to increase necrosis and decrease proliferation. The highest level of necrosis was found in the uterus of rats infected with E. coli 1.5 x 10 xiv 8 CFU/mL. Progesterone receptor expression was decreased in white rat endometritis models injected with S. aureus 1.5 x10 8 CFU/mL and mixed bacteria S. aureus 1.5 x 10 CFU/mL with E. coli 1.5 x 10 8 CFU/mL. Induction of endometritis using E. coli, S. aureus and a combination of both bacteria caused an increase in interleukin-6 (IL-6) levels in the blood of white rats and in line to the increase of the infection doses. Stage V showed that the administration of ethanol extracts of red betel leaf, moringa leaf, and garlic extract before and after treatment tended to reduce the WST score even though statistically there was no significant difference (P>0.05). The percentage of WST score reduction in C1, C2, and C3 were 60.1; 67.0; and 58.8%, respectively. The decrease in WST score after treatment was followed by a decrease in total bacterial colonies (P>0.05). The percentage decrease in total bacterial colonies in C1, C2, and C3 were 32.5; 54.1; and 70.6%, respectively. Among the three plants used in this study, garlic extract showed the lowest ability to increase the percentage of pregnancy in endometritis-affected Aceh cows. Keywords: antibacterial, endometritis, phytotherapy, Aceh cow