KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG PENERAPAN SANKSI TERHADAP SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DENGAN PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI | ELECTRONIC THESES AND DISSERTATION

Electronic Theses and Dissertation

Universitas Syiah Kuala

    DISSERTATION

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG PENERAPAN SANKSI TERHADAP SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DENGAN PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI


Pengarang

MUKHLIS - Personal Name;

Dosen Pembimbing

Faisal - 195908151987031001 - Dosen Pembimbing I
Rizanizarli - 196011151989031002 - Dosen Pembimbing II
Eddy Purnama - 196205261989031002 - Dosen Pembimbing III



Nomor Pokok Mahasiswa

1703301010007

Fakultas & Prodi

Fakultas Hukum / Ilmu Hukum (S3) / PDDIKTI : 74001

Subject
-
Kata Kunci
-
Penerbit

Banda Aceh : Fakultas Hukum., 2025

Bahasa

No Classification

-

Literature Searching Service

Hard copy atau foto copy dari buku ini dapat diberikan dengan syarat ketentuan berlaku, jika berminat, silahkan hubungi via telegram (Chat Services LSS)

KEBIJAKAN HUKUM PIDANA TENTANG PENERAPAN SANKSI TERHADAP SAKSI PELAKU YANG BEKERJASAMA DENGAN PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

Mukhlis
Faisal**
Rizanizarli***
Eddy Purnama****

Berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU-PSK) disebutkan, bahwa “saksi pelaku adalah tersangka, terdakwa, atau terpidana yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana dalam kasus yang sama. Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang tersebut menyebutkan, bahwa seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana apabila ia ternyata terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah, tetapi kesaksiannya dapat dijadikan pertimbangan hakimdalam meringankan pidana yang dijatuhkan. Saksi pelaku yang bekerjasama (Justice Collaborator) selanjutnya disingkat JC juga diatur dalam Pasal 1 angka 3 peraturan bersama penegak hukum Nomor 1 Tahun 2011 tentang perlindungan bagi pelapor, saksi pelaku yang bekerja sama (justice collaborator), dan saksi dalam perkara tindak pidana tertentu dan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) disebutkan, bahwa saksi pelaku yang bekerjasama adalah saksi yang juga sebagai pelaku suatu tindak pidana yang bersedia membantu aparat penegak hukum untuk mengungkap suatu tindak pidana. Ketentuan di atas dalam praktik penegakan hukum belum memberikan pengaturan yang memadai dalam mengungkap tindak pidana korupsi. Pasal 10 ayat (2) UU-PSK, Peraturan Bersama Penegak Hukum, SEMA Nomor 4 Tahun 2011 juga belum memberikan kepastian hukum, kelemahan-kelemahan sehingga menimbulkan permasalahan dalam praktik peradilan untuk menentukan sebagai saksi pelaku yang bekerjasama dengan penegak hukum dalam tindak pidana korupsi.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji dan menganalisis kedudukan Justice Collaborator dalam peradilan tindak pidana Korupsi, bentuk pertanggungjawaban pidana Justice Collaborator dalam tindak pidana, dan kebijakan hukum pidana dalam penerapan Justice Collaborator dalam peradilan tindak pidana korupsi di Indonesia.
Penelitian ini merupakan penelitian yuridis normatif atau doktriner dengan pendekatan normatif, historis, komparatif, dan konseptual. Sifat penelitian preskriptif analitis. Sumber Data berupa data sekunder terdiri dari: bahan hukum primer, sekunder dan tersier. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara studi kepustakaan (library research) dengan dianalisis secara kualitatif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedudukan JC adalah sebagai salah satu pelaku tindak pidana tertentu namun bukan pelaku utama yang mengakui kejahatannya serta memberikan keterangan sebagai saksi dalam proses peradilan. JC selain sebagai saksi juga pelaku (tersangka/terdakwa) tindak pidana korupsi. Kesaksian yang diberikan oleh saksi yang juga tersangka dapat digunakan untuk kepentingan pembuktian suatu perkara pidana, sehingga dapat dinilai sebagai salah satu alat bukti. Bentuk pertanggungjawaban pidana Justice Collaborator tidak lepas dari adanya kesalahan. Kesalahan dianggap ada, apabila dengan sengaja telah melakukan perbuatan yang menimbulkan keadaan atau akibat yang dilarang oleh hukum pidana dan tetap mampu untuk bertanggung jawab. Seorang saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama tidak dapat dibebaskan dari tuntutan pidana. Ketentuan ini tidak menjelaskan persyaratan bagi tersangka untuk dianggap sebagai saksi yang bekerjasama dengan penegak hukum. Oleh karena itu, penegak hukum tidak memiliki pedoman jelas untuk menentukan status saksi pelaku, sehingga pengungkapan tindak pidana menjadi kurang maksimal. Kebijakan hukum pidana dalam penerapan Justice Colabolator dalam peradilan tindak pidana di Indonesia merupakan Pembaruan hukum pidana yang pada hakikatnya melakukan perubahan yang fundamental dalam sistem hukum pidana baik meliputi perundang-undangan, mekanisme kelembagaan, sampai kepada pembentukan budaya hukum yang mendukung usaha pembaruan. Kebijakan penerapan Justice Collaborator dalam proses peradilan tindak pidana korupsi dapat dilakukan dengan membentuk norma hukum yang jelas, tegas dan memadai yang langsung dalam peraturan perundang-undangan Tindak Pidana Korupsi. Ada beberapa kebijakan hukum pidana yang perlu diperhatikan yaitu berkaitan dengan pemberian hukuman yang tegas yang memberikan kepastian hukum bahwa justice collaborator benar-benar mendapatkan penghargaan yang jelas di dalam Undang-Undang. Kebijakan pidana lainnya penjelasan norma tentang saksi yang juga tersangka, kasus yang sama, penentuan kapan pelaku yang bekerjasama dan saksi pelaku yang bekerjasama.
Disarankan perlu adanya pengaturan yang tegas tentang penghargaan yang diberikan kepada JC yaitu dengan adanya kepastian tentang jumlah hukuman yang dapat diberikan yaitu 1/2 atau 1/3 dari ancaman pidana bahkan dapat diberikan alasan pemaaf bukan alasan pembenar sehingga JC dapat diberikan hak imunitas dimana perkaranya tidak perlu dituntut. Kedudukan JC diberikan dalam norma yang tegas yang dimulai dari tingkat penyelidikan atau penyidikan tidak hanya dilakukan pada tingkat peradilan, sehingga perannya akan lebih dirasakan untuk membongkar perkara tindak pidana korupsi dan kerugian negara yang tidak akan terjadi. Pengaturan tentang Justice Collaborator untuk tindak pidana korupsi dengan Undang-Undang tindak pidana korupsi tersendiri yang lebih jelas dan tegas.

Kata Kunci: Kebijakan Hukum Pidana, Sanksi, Saksi Pelaku yang Bekerjasama, Tindak Pidana Korupsi.

CRIMINAL LAW POLICY ON THE IMPLEMENTATION OF SANCTIONS TOWARDS JUSTICE COLLABORATORS THAT COOPERATE WITH LAW ENFORCERS IN SUPPRESSING CORRUPTION Mukhlis* Faisal** Rizanizarli*** Eddy Purnama**** According to Article 1, paragraph 2 of Law Number 13 of 2006, as amended by Law Number 31 of 2014 regarding Witness and Victim Protection (Law-PSK), a witness who is simultaneously a perpetrator is defined as a suspect, defendant, or convicted individual who collaborates with law enforcement to elucidate a crime within the same case. Article 10, paragraph (2) of the Law stipulates that a witness who is concurrently a suspect in the same case cannot be absolved from criminal liability if proven legally and convincingly guilty; however, their testimony may be taken into account by the judge to mitigate the imposed sentence. A cooperating perpetrator witness, referred to as JC, is governed by Article 1, paragraph 3 of the joint regulation of Law Enforcement Number 1 of 2011, which pertains to the protection of reporters, cooperating perpetrator witnesses, and witnesses in specific criminal cases. The Witness and Victim Protection Agency (LPSK) defines a collaborating perpetrator witness as an individual who, while being a perpetrator of a crime, is prepared to aid law enforcement in the investigation of that crime. The aforementioned legal restrictions in law enforcement practice have failed to establish sufficient regulations for detecting corruption offenses. Article 10, paragraph (2) of the PSK Law, the Joint Regulation of Law Enforcement, and SEMA Number 4 of 2011 have not conferred legal certainty, and their deficiencies have resulted in complications in judicial practice regarding the designation of a perpetrator as a cooperating witness in corruption cases. This research aims to examine and analyze the position of Justice Collaborators in corruption criminal proceedings, the forms of criminal liability of Justice Collaborators in criminal acts, and the criminal law policies in the application of Justice Collaborators in corruption criminal proceedings in Indonesia. This research is a normative or doctrinal legal study with normative, historical, comparative, and conceptual approaches. The nature of prescriptive analytical research. Data sources in the form of secondary data consist of: primary, secondary, and tertiary legal materials. The data collection technique was carried out through library research and analyzed qualitatively. The research findings suggest that JC is classified as one of the perpetrators of specific criminal actions, while not the principal offender, who confesses to the crime and offers testimony as a witness in the judicial proceedings. JC, in addition to serving as a witness, is also a culprit (suspect/defendant) in the corruption offense. The testimony of a witness who is simultaneously a suspect may be utilized to substantiate a criminal case and can therefore be regarded as a form of evidence. The framework of criminal culpability for a Justice Collaborator is not devoid of inaccuracies. A mistake is deemed to exist if it is willfully perpetrated and leads to a condition or outcome forbidden by criminal law, while the individual retains the capacity for accountability. A witness who is simultaneously a suspect in the same case cannot be exonerated from criminal charges. This section fails to clarify the criteria for a suspect to be regarded as a collaborating witness with law enforcement. Consequently, law enforcement lacks definitive rules to ascertain the status of the perpetrator-witness, leading to suboptimal crime disclosure. The policy of criminal law on the application of Justice Collaborators in Indonesia represents a major reform of the criminal justice system, encompassing laws, institutional procedures, and the development of a legal culture that fosters reform initiatives. The implementation of Justice Collaborator in prosecuting corruption offenses can be achieved by instituting clear, robust, and sufficient legal standards directly within the legislation governing Corruption Crimes. Several criminal law policies must be evaluated, especially with the enforcement of stringent sanctions that ensure legal certainty for justice collaborators to obtain unequivocal acknowledgment in the law. Alternative criminal policy interpretations of the regulation concerning witnesses who are also suspects, the same case, and identifying when the cooperating offender and the cooperating witness are engaged. It is advisable to implement stringent regulations concerning the rewards allocated to JC, particularly by establishing clarity regarding the punitive measures that may be enforced, which should be either a half or one-third of the criminal threat and by offering mitigating circumstances in addition to mere exculpatory justifications, thereby enabling JC to receive immunity in cases that do not warrant prosecution. The duty of the JC is delineated by stringent regulations that commence at the investigation or inquiry phase, extending beyond the court level; thus, its impact will be more pronounced in revealing corruption instances and preventing state losses. Regulations regarding Justice Collaborators for corruption offenses should be distinct, explicit, and more rigorous legislation on Corruption Offenses. Keywords: Criminal Law Policy, Sanction, Justice Collaborator, Corruption.

Citation



    SERVICES DESK